My Themes

Jumat, 25 Mei 2012

Proses Lahirnya Demokrasi Indonesia



Sebagaimana diderita oleh wanita yang mau melahirkan, proses kelahiran demokrasi di Indonesia pun dibarengi dengan kesakitan, ketegangan, dan kecemasan. Demokrasi adalah "anak yang mahal". Pantas, jika ia dikandung dan dilahirkan dengan penuh kesakitan.

Jalan menuju kejayaan, tampaknya sedang ditempuh oleh paham demokrasi sekarang ini. Di Asia, cengkeramannya tampak mulai menguat, bahkan juga di negara-negara yang totaliter. Termasuk pula Indonesia, yang selama tiga dasawarsa terakhir ini, sadar atau tidak sadar, telah tertindas oleh penguasanya yang berdiktator ria.
Tiba-tiba terjadilah keajaiban yang harus dibayar dengan pengorbanan. Indonesia tersentuh oleh tangan demokrasi, reformasi pecah dan terjadi peralihan kekuasaan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.

Proses kelahiran demokrasi itulah yang hendak diceritakan buku ini melalui analisis peristiwa-peristiwa menjelang reformasi, saat reformasi, sampai dengan pemilihan presiden 1999, yang menghantarkan bangsa kita menuju gerbang demokrasi sesungguhnya. Buku ini merupakan serangkaian kumpulan artikel-artikel penulis. Tulisan dalam buku ini sulit dicerna oleh pikiran pembaca bila hanya dilihat dari satu artikel saja sebab satu artikel ditulis lepas untuk satu kejadian. Namun ketika artikel-artikel tsb dikemas dalam satu buku, tampak adanya benang merah penghubung yaitu proses menuju kelahiran demokrasi yang secara implisit terkandung dalam peristiwa-peristiwa yang disoroti oleh penulis.

Artikel-artikel dalam buku ini sarat dengan analisis budaya, selain mengetengahkan proses demokratisasi ditinjau dari aspek politik, sosial dan ekonomi. Di awal, buku ini menuturkan tentang pergolakan dan perubahan situasi politik negara kita yang ikut mewarnai proses reformasi, diikuti analisis situasi sosial yang penuh kekerasan dan turut mempersulit lahirnya demokrasi, ditambah lagi hambatan-hambatan yang terpatri dalam budaya kita, serta bagaimana proses demokrasi di negara kita melebarkan sayapnya sampai pada tingkat paradigma dan budaya.

Dalam artikel-artikel tersebut tampak kekritisan penulis dalam mencermati peristiwa-peristiwa penting bangsa kita dan diulas kembali dalam bahasa yang mudah dimengerti sehingga tidak membosankan. Isi buku ini cukup signifikan bagi kita yang hendak mempertajam wawasan tentang proses lahirnya demokrasi di Indonesia atau bagi yang ingin menghayati semangat perjuangan melahirkan ‘anak emas’ tsb. Penulis berharap buku ini dapat mendorong kita untuk tidak menyia-nyiakan bayi demokrasi yang telah terlahirkan. Apakah kita mau memdewasakannya, keputusan akhir ada di tangan kita.



Sejarah Demokrasi
Seperti yang kita sering baca dalam pelajaran sejarah atau PPKN [dulu PMP], negara yang pertama kali melaksanakan sistem demokrasi adalah Athena. Ia tepatnya berupa negara-kota yang terletak di Yunani. Menurut pelajaran yang sering kita baca, di Athena, pemerintahan dijalankan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Proses pemerintahan di Athena itu dimulai oleh Kleistenes pada tahun 507 sebelum Masehi dengan perubahan konstitusi dan diselesaikan oleh Efialtes pada tahun 462-461 sebelum Masehi. Efialtes melucuti kekuasaan kaum aristokrat kecuali beberapa fungsi hukum dalam?  perkara pembunuhan, dan beberapa tugas keagamaan. Karena tindakan ini para bangsawan membunuh Efialtes, tetapi demokrasinya tetap hidup.
Setelah kematian Efialtes, tidak ada badan politik yang lebih berkuasa daripada Dewan Rakyat. Dewan Rakyat di Athena terbuka bagi semua warga negara lelaki yang merdeka dan sudah dewasa, tidak peduli pendapatan atau tingkatannya. Pertemuan diadakan 40 kali setahun, biasanya di suatu tempat yang disebut Pniks, suatu amfiteater alam pada salah satu bukit di sebelah barat Akropolis. Dalam teori, setiap anggota Dewan Rakyat dapat mengatakan apa saja, asalkan ia dapat menguasai pendengar. Tetapi demi alasan praktis, acara resmi juga ada. Acara ini disiapkan oleh sebuah Panitia yang terdiri dari 500 orang, 50 orang dari setiap suku bangsa Attika yang semuanya meliputi 10 suku. Mereka itu dipilih dengan undian dari daftar sukarelawan, yang semuanya warga negara berumur 30 tahun lebih. Panitia ini tidak mengekang Dewan Rakyat, tetapi hanya mempermudah segala langkahnya. Anggota Panitia selalu dibayar dan bertugas selama satu tahun. Sesudah selang waktu, ia dapat dipilih lagi untuk tahun kedua, tetapi tidak pernah bertugas selama lebih dari dua tahun.
Dalam Panitia itu terdapat panitia yang lebih kecil dan terdiri dari 50 orang. Panitia ini disebut Pritanea dan berkumpul setiap hari; praktis merekalah yang menjalankan pemerintahan. Susunan Pritanea diubah 10 kali dalam setahun dan ketuanya, kedudukan eksekutif paling tinggi, berganti setiap hari. Dalam teori tidak ada orang yang cukup lama memegang tampuk kekuasaan sehingga merasa mengakar di dalamnya. Tetapi dalam kenyataan kemungkinan ini terbuka bagi suatu golongan orang: 10 panglima angkatan bersenjata yang langsung dipilih dari Dewan Rakyat dan bertugas selama satu tahun. Seorang panglima dapat dipilih kembali berkali-kali.
Salah seorang tokoh penting pada masa jaya Athena ialah Perikles, seorang prajurit, aristokrat, ahli pidato, dan warga kota pertama. Pada musim dingin tahun 431-430 sebelum Masehi, ketika perang Peloponnesus mulai, Perikles menyampaikan suatu pidato pemakaman. Alih-alih menghormati yang gugur saja, ia memilih memuliakan Athena:
“Konstitusi kita disebut demokrasi, karena kekuasaan tidak ada di tangan segolongan kecil melainkan di tangan seluruh rakyat. Dalam menyelesaikan masalah pribadi, semua orang setara di hadapan hukum; bila soalnya ialah memilih seseorang di atas orang lain untuk jabatan dengan tanggung jawab umum, yang diperhitungkan bukan keanggotaannya dalam salah satu golongan tertentu, tetapi kecakapan orang itu. Di sini setiap orang tidak hanya menaruh perhatian akan urusannya sendiri, melainkan juga urusan negara. … Tetapi yang benar-benar dapat disebut berani ialah orang yang sudah mengerti apa yang enak di dalam hidup ini dan apa yang menggemparkan, lalu maju tanpa gentar untuk menghadapi apa yang datang.”

Jumat, 11 Mei 2012

Mencari Keadilan


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

J.L. Urban, patung Dewi Keadilan di gedung pengadilan di Olomouc, Republik Ceko
Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa "Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran" [1]. Tapi, menurut kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai: "Kita tidak hidup di dunia yang adil"
 [2]. Kebanyakan orang percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan sosial dan politis di seluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan. Tapi, banyaknya jumlah dan variasi teori keadilan memberikan pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari keadilan dan realita ketidakadilan, karena definisi apakah keadilan itu sendiri tidak jelas. keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Keadilan